Collection of Papers

  1.    Ajaran Khonghucu tentang Kematian
Upacara kematian dalam agama Khonghucu dapat diartikan sebagai proses pengurusannya yang diikuti dengan berbagai upacara penghormatan yang dilakukan oleh keluarga dan para umat Khonghucu yang ikut dalam upacara tersebut.

a.    Sumber Ajaran Khonghuc
   Ajaran dan filsafat Khonghucu dihimpun oleh murid-muridnya dalam empat buah kitab dan lima buah karya klasik. Keempat buah kitab dan lima buah karya klasik tersebut, dikenal dengan istilah Su Si dan Ngo King. Keempat kitab tersebut adalah: (a) Lun Gi atau ajaran dan perkataan Khonghucu, yang dihimpun oleh murid-muridnya, (b) Tay Hak  (Ajaran Besar atau the Great Learning), yaitu suatu risalah yang ditulis oleh Ceng Ce, murid nabi Khongcu,(c) Tiong Yong (Tengah Sempurna atau Doctrine of Mean) yang ditulis oleh Cu Su, dan (d) Beng Cu (Pokok-pokok ajaran Mencius).
Kelima karya klasik yang disebut di atas adalah: (a) Yaking atau kitab tentang perubahan, (b) Su Keng atau kitab tentang sejarah, (c) Si Keng atau kitab tentang Sanjak, (d) Lee Ki atau kitab tentang tata upacara, dan (e) Chun Chiu atau Kitab Sejarah Zaman Muslim Semi dan Gugur.[1] Keempat kitab (Su Si) dan kelima Kitab (Ngo King) inilah yang merupakan sumber ajaran bagi umat Khonghucu.
Di Indonesia, kitab Su Si yang terdiri dari empat buah kitab sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Matakin yang berpusat di Solo. Kitab Su Si ini menyerupai Alkitab dalam agama Kristen, dan dijadikan sebagai suatu ajaran utama bagi penganut Khonghucu di Indonesia.[2] Di samping sebagai ajaran utama bagi penganut Khonghucu, kitab  Su Si juga digunakan dalam upacara ibadat, terutama dalam upacara kematian dan perkawinan.

b.    Penguburan Mayat
Penguburan mayat yang dilakukan oleh orang-orang ketika Khonghucu masih hidup tidaklah dilakukan dengan sewajarnya, mayat tersebut ada yang dikubur tanpa peti, kuburan tidak tidak digali dengan dalam, dan lain-lain. Dengan demikian tidaklah heran jika mayat yang sudah dikuburkan akan menimbulkan bau yang kurang enak. Untuk menghilangkan tradisi buruk itu, Khonghucu melakukan berbagai perubahan dalam penguburan mayat. Oleh karena itu, ketika ibunya meninggal dunia, dia kuburkan ibunya itu seperti penguburan istri-istri pembesar, membawa jenazah ibunya dengan iring-iringan kehormatan kegunung Hong San, dan dikuburkan di sebelah kuburan ayahnya.[3] Tradisi menguburkan jenazah secara sebelah-menyebelah ini masih kita temukan di kalangan masyarakat Cina keturunan di Indonesia.
Menurut Khonghucu, manusia itu ialah makhluk utama, maka meski tubuhnya tidak bernafas lagi kita tetap harus menghormatinya. Selanjutnya dia mengatakan, bahwa menusia itu wajib mencintai sesamanya sebagai saudara; kecintaan sesama manusia terjalin bagaikan tali yang menghubungkan satu dengan yang lainnya. Setiap orang yang hidup masih mempunyai hubungan dengan yang mati, walaupun secara jasmani mereka sudah tiada, tapi secara rohani mereka masih tetap ada. Kebanyakan manusia hanyalah sekadar mewarisi pekerjaan dan harta dari yang meninggal dunia, dan ini dianggap kurang baik. Yang baik menurut Konfucius, adalah membalas budi orang yang telah mati, menghormatinya dan berbakti kepadanya sesuai dengan kemampuan kita.[4]
Di samping itu, Konfucius, juga melakukan perkabungan ketika ibunya meninggal dunia, dia melakukan perkabungan selama 27 bulan, dan dia juga melakukan larangan atau pantangan selama masa berkabung, seperti misalnya tidak bersenang-senang dan dia mengisi waktu perkabungannya itu dengan hal-hal yang berguna dan bermanfaat. Konfucius juga menganjurkan agar dalam masa perkabungan supaya bekerja sebagaimana mestinya.[5]
Menurut peraturan peradaban Cina di Indonesia perkabungan untuk orang tua atau untuk suami lamanya ialah 3 tahun, tapi pada dasarnya yang dilakukan hanyalah 2 tahun. Selama melakukan perkabungan kegiatan mencari nafkah masih tetap dilakukan sebagaimana mestinya, hanya saja mereka tidak mengenakan perhiasan emas, tidak mengunjungi pesta, dan tidak mengadakan perayaan-perayaan.[6]
Mengenai upacara kematian atau berkaung, Fung Yu-lan, seorang professor filsafat di Universitas Tsinghua, mengatakan bahwa yang terpenting bagi penganut Khonghucuisme dalam upacara kematian ialah upacara berkabung serta upacara penyajian korban terutama bagi para leluhur. Menurutnya upacara ini banyak mengandung takhayul dan mitologi. Penganut Khonghucuisme berusaha memberikan penafsiran baru dan memasukkan gagasan-gagasan baru di dalamnya, dalam rangka memberikan kebenaran terhadap takhayul dan mitologi tersebut. Kenyataan ini dapat dilihat dalam kitab Hsun-tzu dan Li Chi atau Kitab Upacara Adat.[7]

c.    Upacara Sederhana
Khonghucu pada dasarnya tidak menghendaki adanya upacara kematian yang dilakukan secara berlebihan, sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat Cina keturunan di Indonesia yang cenderung melakukan upacara dengan cara berlebihan.
Mengenai upacara sederhana telah dikatakan oleh Khonghucu di dalam Kitab Lun Gi atau Sabda Suci sebagai berikut: “Di dalam upacara, daripada mewah menyolok, lebih baik sederhana. Di dalam upacara duka, daripada meributkan perlengkapan upacara, lebih baik ada rasa sedih yang benar.” (Lun Gi Jilid III A: 4/3) Dari ayat ini jelas bahwa Khonghucu tidak menyukai hal-hal yang bersifat berlebihan dan beliau hanya menyukai hal yang sederhana, terutama di dalam upacara kematian.
2.    Tujuan Upacara Kematian
Secara umum, tujuan upacara kematian adalah sebagai berikut:
F Untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia supaa rohnya mendapat ketenangan dan kedamaian di tempat yang abadi disisi Tuhan.
F Untuk menunjukkan rasa bakti seorang anak kepada orangtuanya yang meninggal dunia secara sungguh-sungguh. Menurut Khonghucu, ekspresi seorang anak yang berbakti bukanlah ditunjukkan dengan tangisan yang meratap-ratap, akan tetapi bagaimana mereka melaksanakan upacara kematian itu dengan sebenar-benarnya.
F Apabila dilihat dari kebudayaan fenomena, tujuan upacara kematian adalah pewarisan nilai-nilai atau norma-norma melalui proses sosialisasi. Upacara ini merupakan serangkaian aktivitas yang berorientasi pada penggunaan dan penghayatan pada simbol-simbol, dan memberikan kesadaran terhadap pendukung upacara mengenai nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam simbol-simbol tersebut. Dengan demikian upacara kematian yang dilakukan secara berkala maupun secara berulang-ulang merupakan wadah sosialisasi dan keagamaan bagi masyarakat pendukung upacara.
                                                                                                            
3.    Bentuk-bentuk Upacara Kematian
Adapun bentuk-bentuk upacara kematian dalam masyarakat Cina keturunan di Indonesia yang menganut agama Khonghucu dapat dibagi 7 bagian besar,[8] yaitu:
1)   Saat upacara Jib Bok (memasukkan jenazah ke dalam peti)
2)   Saat upacara Mai Song[9] (malam menjelang pemberangkatan jenazah)
3)   Saat upacara Sang Cong[10] (pemberangkatan jenazah)
4)   Saat upacara Jib Gong (pemakaman jenazah)
5)   Saat upacara Peng Tuh atau Ki Hok[11] (membalik meja)
6)   Saat upacara Siau Siang[12] (1 tahun)
7)   Saat upacara Tai Siang[13] (3 tahun).
Upacara-upacara tersebut di atas yang masih erat hubungannya dengan ajaran Khonghucu setelah proses pemakaman ialah upacara Ki Hok, Siau Siang, dan Tai Siang. Sedangkan upacara sembahyang tiga hari, tujuh hari, empat puluh sembilang hari, dan seratus hari tidak diwajibkan dan ini hanya berdasarkan tradisi setempat.[14] Tradisi seperti ini tidak hanya dijumpai di dlam upacara kematian masyarakat Indonesia keturunan Cina, tetapi juga di dalam tradisi umat Islam dalam hal kematian terutama jumlah harinya.

4.    Penutup
Bentuk-bentuk upacara kematian yang dilakukan oleh orang-orang Cina keturunan yang menganut agama Khonghucu dilakukan dengan mempersembahkan sesajian berupa makanan yang dihidangkan di atas altar (meja sembahyang) untuk arwah orang yang telah meninggal dunia. Kemudian dilakukan dengan penghormatan yang dilakukan oleh para keluarga yang ditinggal, dengan menaikkan beberapa batang dupa atau hio.
Upacara kematian yang dilakukan oleh umat Khonghucu ini tampaknya memiliki perbedaan di antara satu daerah dengan daerah yang lain di Indonesia. Perbedaan ini terletak pada cara-cara yang mereka lakukan dan peralatan yang mereka gunakan untuk persembahan pada arwah leluhur dan pakaian yang mereka gunakan untuk berkabung. Meskipun terdapat perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain di Indonesia, tetapi hal ini tidaklah mengurangi esensi dari upacara tersebut.
Simbol-simbol yang digunakan dala upacara kematian ini, semuanya memiliki makna tersendiri khususnya bagi keluarga yang ditinggal, dan umat Khonghucu umumnya. Makna dari simbol-simbol tersebut di samping memberikan ketenangan batin bagi keluarga yang ditinggal dan juga sering kali dihubungkan dengan orang yang telah meninggal dunia. Meskipun makna dari simbol ini sulit diterima secara akal sehaht, namun para keluarga yang ditinggal mati sangat meyakininya.[15]

[1] Cina Hand Book (New York: Rockport Press, Inc, 1950), h.24
[2] Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Terjemahan Dede Oetomo, (Jakarta: PT Gramedia, 1998), h.67
[3] Zhongguo Lishi Yanjiau Hui, Zhongguo Tongshi Jianbian,, (Beijing: Renmin Chuban She, 1951), h. 120, yang dikutip dari Sabina Susie Kusasih, Sekilas tentang Tiga Agama Tiongkok (Skripsi), (Fakultas Sastra UI, 1978), h. 41.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang (Jakarta: Keng Po, 1961), h. 190.
[7] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosoph  (New York: The Free Press, 1948), h. 148.
[8] Matakin, Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghuc (Solo: Matakin), tanpa Ciri Tahun, h. 133.
[9] Istilah Mai Song diambil dari dialek Hokkain, secara etimologi “Mai” ialah “pintu” dan “Song” adalah “duka”. Dengan demikian “Mai Song” adalah “Pintu duka”.
[10] “upacara mengantar jenazah ke tempat pemakaman”
[11] Ki Hok disebut juga Peng Tuh. Secara etimologi ”Ki” berarti ‘harapan suci melalui doa’ dan “Hok” adalah ‘rahmat’. Selain itu, Ki Hok juga diartikan sebagai “sembahyang 7 hari”, yang dihitung mulai dari jenazah dimakamkan. Upacara ini dilakukan pada malam menjelang hari ke tujuh, dihitung dari mulai jenazah itu dimakamkan. Pada malam ini dilakukan sembahyang untuk orang yang telah meninggal dunia. Di Jakarta, sembahyang ini dikenal dengan istilah “Peng Tuh”, artinya meja-meja yang digunakan untuk sembahyang pada saat pemakaman jenazah dibalk, dan ini menunjukkan bahwa upacara pengurusan jenazah sudah dianggap selesai. (Nio Joe Lan: 1990-1939). h. 188.
[12] Istilah Siau Siang diambil dari dialek Hokkian. Secara etimologi “Siau” adalah “kecil” sedangkan “Siang” adalah “keberkahan”. Umumnya, di kalangan masyarakat keturunan Cina di Indonesia yang menganut agama Khonghucu diartikan sebagai upacara berkabung selama 1 tahun. Dihitung dari saat penguburan jenazah.
[13] Istilah Tai Siang diambil dari dialek Hokkian yang secara etimologi “Tai” adalah “besar” sedangkan “Siang” adalah “keberkahan”.
[14] Matakin, Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu, h. 122.
[15] Dr. M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesi (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h. 169.