Pendekatan ini bermaksud mencari hubungan atau pengaruh agama terhadap kejiwaan pemeluk agama atau sebaliknya pengaruh kejiwaan sang pemeluk terhadap keyakinan keagamaannya. Para psikolog religius meyakini ada dimensi yang sakral, spiritual, divine, transenden, super-natural yang tidak empiris yang dapat mempengaruhi kejiwaan manusia. Namun, para psikolog non-religius menolak dimensi-dimensi itu atau paling tidak sangat meragukannya. Psikolog non-religius biasanya akan berusaha menjelaskan fenomena keagamaan seseorang tanpa perlu merujuk kepada realitas-realitas yang super-natural itu, sementara psikolog religius ingin tetap membuka kemungkinan realitas itu menjadi satu faktor yang berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang.[1]
Pendekatan ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-aspek batini pengalaman keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu benar-benar ada dan bahwa dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat diketahui. Akan tetapi, usaha untuk menemukan esensi dan menentukannya sebagai suatu pemahaman seringkali sia-sia.[2] Sentimen-sentimen individu dan kelompok berikut gerak dinamisnya, harus pula diteliti dan inilah yang menjadi tugas interpretasi psikologis.
Interpretasi agama melalui pendekatan psikologis ini memang berkembang dan dijadikan sebagai cabang dari psikologi dengan nama psikologi agama. Objek ilmu ini adalah manusia, dalam pengertian tingkah laku manusia yang beragama, gejala-gejala empiris dari keagamaannya. Karena ilmu ini tidak berhak mempelajari betul tidaknya suatu agama, metodenyapun tidak berhak untuk menilai atau mempelajari apakah agama itu diwahukan Tuhan atau tidak, dan juga tidak berhak mempelajari masalah-masalah yang tidak empiris lainnya.
Oleh karena itu, metode psikologis tidak berhak menentukan benar salahnya suatu agama karena ilmu pengetahuan tidak memiliki teknik untuk mendemonstrasikan hal-hal seperti itu, baik sekarang maupun waktu yang akan datang. Selain itu sifat ilmu pengetahuan sifatnya adalah empirical science, yakni mengandung fakta empiris yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah fakta yang dapat diamati dengan pola indera manusia pada umumnya, atau dapat dialami oleh semua orang biasa, sedangkan Dzat Tuhan, wahyu, setan, dan fakta ghaib lainnya tidak dapat diamati dengan pola indera orang umum dan tidak semua orang mampu mengalaminya.[3]
Sumber-sumber pokok untuk mengumpulka data ilmiah melalui pendekatan psikologi ini dapat diambil dari:
1. Pengalaman dari orang-orang yang masih hidup.
2. Apa yang kita capai dengan meneliti diri kita sendiri.
3. Riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, atau yang ditulis oleh para ahli agama.[4]
Williams James dalam bukunya the Varieties of Religious Experience mendasarkan penelitiannya atas pengalaman pribadi orang-orang terkemuka dalam agama, kemudian mengumpulkan dan menganalisisnya. Begitu pula Thouless mempergunakan data-data dari agama Kristen sehingga ia berpendapat bahwa yang terpenting untuk dibicarakan dalam ilmu jiwa agama adalah bagaimanakah dasar-dasar kesadaran akan kepercayaan kepada Tuhan yang terdapat dalam pikiran orang beriman dalam agama yang lebih maju.[5]
Banyak yang menulis bahwa tokoh dalam studi agama melalui pendekatan psikologis adalah Freud. Padahal ia bukan seorang ahli di bidang ilmu jiwa agama sebagaimana C.G. Jung atau Williams James. Freud adalah seorang psikoanalisis. Ia menganalisis kejiwaan dengan brilian sehingga banyak menemukan metode dalam terapi-terapi kejiwaan. Namun dalam perkembangan penelitiannya, ia kemudian menyerang ilmu jiwa agama. Sebagai gambaran dari pendekatan psikologi ini, berikut akan dikemukakan pandangan Freud tentang agama.
Menurut Freud, agama berasal dari ketidakberdayaan dan ketidakmampuan manusia menghadapi kekejaman alam semesta yang setiap saat mengancam dirinya, separti banjir, letusan gunung berapi, gempa bumi, dan lain-lain. Karena kelemahannya, manusia mencari perlindungan kepada suatu dzat yang transenden, yang abstrak, yang diharapkan dapat melindungi dirinya dari segala macam ancaman itu. Terhadap rasa takut inilah, manusia membangun suatu perlindungan berupa tuhan agama. (Erich Fromm, 1976 : 11).
Karena rasa takut merupakan esensi psikologi, sudah tentu agama timbul sebagai jawaban untuk mengatasi rasa takut dan tidak tenteram. Rasa takut adalah suatu keadaan jiwa yang ditandai oleh suatu pengertian atau bayangan bahwa keutuhan fisik atau suatu organ lain, dalam keadaan berbahaya. Kepercayaan akan adanya Tuhan , sebagai contoh, tidaklah berarti kita tidak dapat atau tidak rela mempergunakan akal pikiran terhadap dunia yang berada di sekeliling kita, tetapi semata-mata hal itu karena penerimaan kita tentang ide wujud Tuhan bukan sebagai hasil penyelidikan atau kepastian rasional, tetapi akal hanya sebagai penolong untuk mempertahankan kepercayaannya dan tidak mempertanyakan kebenaran tingkah laku kepercayaan itu sendiri.[6]
Dari contoh diatas, Freud dalam penelitiannya terhadap agama menitikberatkan pada aspek-aspek sosial dari agama itu, yang digambarkan melalui analisisnya terhadap agama orang-orang primitif, sehingga ditemukan hubungan antara ‘komplek oedip’ denagn upacara-upacara agama. karena yang menjadi perhatian Freud adalah totem sebagai sistem sosial yang mula-mula terdapat dalam kehidupan primitif, totem itu sendiri adalah suatu fenomena sosial yang tersimpul padanya permulaan sietem masyarakat dengan agama sederhana yang dikendalikan dengan beberapa larangan keras---taboo.[7]
[1] Peter Connoly, “Psychological Approaches”, dalam Approaches to the study of Religion, Peter Connoly (ed.) (London: Cassel, 1999), h. 136.
[3] A. Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, (Bandung: Martiana, 1981), h. 9. dan Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:Bulan Bintang,1979), h. 17-19.
[6] Francisco J. Moreno, Agama dan Akal Pikiran, terj. Rajawali, (Jakarta: Rajawali, 1985), h. 3 dan 128.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar