Rabu, 20 Juli 2011

Kesesatan Penalaran (Fallacy)

A. Pengertian
Kesesatan adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas berpikir karena penyalahgunaan bahasa (verbal) dan/atau relevansi (materi). Kesesatan (fallacia, fallacy) merupakan bagian dari logika yang mempelajari beberapa jenis kesesatan penalaran sebagai lawan dari argumentasi logis. Kesesatan karena ketidaktepatan bahasa antara lain disebabkan oleh pemilihan terminologi yang salah sedangkan ketidaktepatan relevansi bisa disebabkan oleh (1) pemilihan premis yang tidak tepat (membuat premis dari proposisi yang salah), atau (2) proses penyimpulan premis yang tidak tepat (premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari).
Perlu diperhatikan bahwa pelanggaran terhadap prinsip-prinsip logis menyebabkan terjadinya kesesatan atau kesalahan dalam penalaran. Kesesatan adalah suatu penalaran yang salah yang kelihahtan memiliki kebenaran. Kesesatan adalah suatu argumen yang tidak logis, yang menyesatkan, yang memperdaya.
Suatu kesesatan yang dilakukan dengan maksud memperdayai disebut sofism (sophism). Jika kesesatan dipakai karena ketidaktahuan tentang peraturan-peraturan penalaran, hal itu disebut paralogisme.
Logika lahir salah satunya berusaha mencoba membantah pikiran-pikiran lain dengan cara menunjukan kesesatan penalarannya. Kesesatan penalaran ini ada yang disengaja ada pula yang tidak disengaja. Kesesatan yang tidak disengaja muncul sebagai bukti bahwa kemampuan berpikir manusia terbatas, atau karena ketidaksadaran pelaku itu. Istilah kesesatan merupakan terjemahan dari fallacia atau fallacy.
Dalam percakapan sehari-hari, kita sering mendengar ujaran – yang kalau dihayati secara logis – ternyata tidak benar atau menyesatkan. Kesesatan berlogika ini bukan disebabkan oleh kesalahan data atau fakta, melainkan kesalahan dalam mengambil konklusi. Konklusi yang diambil bukan atas dasar logika atau penalaran yang sehat. Contoh pernyataan yang menyesatkan, “Bertani itu menyehatkan, oleh karena itu, setiap petani pasti sehat”.
Berdasarkan paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kesesatan merpakan suatu akibat pengambilan konklusi yang bertentangan dengan pikiran yang logis. Soekadijo menyebutkan bahwa kesesatan dalam penalaran dapat terjadi karena yang sesat itu disebabkan oleh beberapa hal yang tampaknya masuk akal. Jika seeorang mengemukakan sebuah penalaran yang sesat dan dia sendiri tidak melihatnya sebagai sesuatu kesesatan, maka penalaran sasat seperti itu disebut paralogis. Sebaliknya, jika penalaran yang sesat itu sengaja dilakukan untuk menyesatkan orang lain disebut sofisme.
Ada dua macam kesesatan, yaitu kesesatan formal dan kesesatan informal. Kesesatan formal adalah kesalah yang terjadi akibat pelanggaran terhadap peraturan-peraturan definisi, pembagian, konversi, obversi, silogisme kategoris dan silogisme hipotetis. Adapun kesesatan informal atau kesesatan material adalah kesesatan yang terjadi akibat kekacauan konotasi atau denotasi term-term yang dipakai karena asumsi-asumsi yang salah tentang fakta, atau karena ketidaktahuan tentang masalah yang ada.

B. Kesesatan karena Bahasa
Bahasa pada dasarnya merupakan seperangkat kaidah atau sistem. Sebuah bahasa pada hakikatnya unik. Tidak ada dua bahasa yang memiliki sistem yang persis, betapa pun dekatnya rumpun atau kerabat bahasa tersebut. Namun, kesamaan yang utama adalah bahwa bahasa pada prinsipnya sebagai alat komunikasi yang terdiri atas lapisan fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat dan terbesar wacana. Satuan terkecil bahasa yang mampu mewadahi konsep secara lengkap sebenarnya kalimat. Dengan kalimatlah kita dapat menuangkan ide, pikiran, perasaan, kehendak atau hayal sehingga dapat dipahami oleh orang lain. Namun satuan kita dapat dijadikan lambang sebuah konsep.
Kata-kata dalam bahasa dapat mempunyai makna yang berbeda-beda. Sebuah kata dapat saja mempunyai makna sebanyak lima buah jika digunakan dalam lima kalimat. Oleh karena itu, makna sebuah kata yang sebenarnya terdapat dalam sebuah kalimat. Namun dalam kalimat sendiri, kadang-kadang kita dapat menginterpretasikan makna lebih dari satu. Tentu saja, semua ini akan dapat menimbulkan kesesatan.
Dalam buku Drs. Surajiyo, dkk. Dasar-Dasar Logika, kesesatan karena bahasa dapat dibedakan atas: 1) kesesatan karena term ekuivokal, 2) kesesatan karena aksen atau tekanan, 3) kesesatan karena arti kiasan, dan 4) kesesatan karena amfiboli .
Sedangkan dalam buku Drs.Munduri dan Rafael Raga Maran, kesesatan karena bahasa dapat dibedakan atas: 1) kesesatan karena term ekuivokal, 2) kesesatan karena tekanan, 3) kesesatan karena komposisi, 4) kesesatan divisi/pembagian, dan 5) kesesatan karena amfiboli.
1) Kesesatan karena term ekuivokal (Fallacy of Equivocation )
Term ekuivokal yaitu term yang dialmbangkan oleh kata yang memiliki struktur fonologis yang sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Jika dalam suatu penalaran terjadi pergantian makna dari term yang sama, maka akan menimbulkan kesesatan penalaran.
Contoh: (1) Abadi adalah sifat Allah
             (2) Adam adalah mahasiswa abadi
Jadi Adam adalah mahasiswa yang memiliki sifat Allah.
2) Kesesatan karena tekanan (Fallacy of Accent)
Maksudnya, sebuah term apabila diucapkan dengan tekanan yang berbeda, maka maknanya pun akan berbeda. Hal seperti ini dapat dilihat dalam bebebrapa bahasa Barat, misalnya bahasa Inggris dan Belanda. Apabila tekanan keras pada suatu bagian (segmen) sebah kata dipindahkan ke bagian lain, maka makna kata itu akan berubah.
Contohnya:
refuse = sampah
refuse = menolak (Inggris)
doorlopen = berjalan terus
doorlopen = menjalani (belanda)
Dalam bahasa Indonesia tidak ada tekanan yang berfungsi untuk membedakan makna. Namun ada pula bentuk-bentuk yang memiliki struktur fonologis yang sama tetapi merupakan dua buah kata yang berbeda.
Contoh: (1a) Dia itu beruang (ber-u-ang)
(1b) Dia itu beruang (be-ru-ang)
(2a) Amir sedang memetik jambu monyet
(2b) Amir sedang memetik jambu/monyet (tanda / sebagai jeda)
3) Kesesatan karena komposisi (Fallacy of Composition)
Kekeliruan berfikir karena menetapkan sifat yang ada pada bagian untuk menyifati keseluruhannya.
Contoh:
*Setiap kapal perang telah siap tempur, maka keseluruhan angkatan laut negara itu sudah siap    tempur.
*Mur ini sangat ringan, karena itu mesinnya tentu ringan juga.
4) Kesesatan karena pembagian (Fallacy of Division)
Kekeliruan berfikir karena menetapkan sifat yang ada pada keseluruhannya, maka demikian juga setiap bagiannya.
Contoh: *Kompleks ini dibangun di atas tanah yang luas, tentulah kamar-kamar tidurnya juga luas.
        *Di perguruan tinggi para mahasiswa belajar hukum, ekonomi, filsafat, sastra, teknik, kedokteran, karena itu setiap mahasiwa tentulah mempelajari semua ilmu-ilmu tersebut.
5) Kesesatan karena Amfiboli (Fallacy of Amphiboly)
Amfiboli akan terjadi jika sebuah struktur kalimat mempunyai makna ganda atau bercabang. Perbedaan penfsiran itu karena aksen atau jeda, tetapi karena pembicara atau penulis membuat kalimat yang memang sedemikian rupa sehingga maknanya bercabang.
Contohnya:
Mahasiswa yang duduk di atas kursi yang paling belakang itu putra Pak Camat.
Membaca kalimat tersebut kita mungkin akan menafsirkan apa yang paling belakang itu? Mahasiswanya atau mejanya. Soekadijo memberikan contoh kalimat bahasa Inggris yang beliau kutip dar tulisan Shakespeare, The duke yet lives that Henry shall depose. Apakah the duke yang akan menjatukan Raja Henry atau sebaliknya Raja Henry yang akan menjatuhkan the duke?
Jika dalam sebuah penalaran kalimat amfiboli di dalam premis digunakan untuk arti yang satu, sedangkan di dalam konklusi artinya berbeda, maka terjadilah kesesatan karena amfiboli. Disini dituntut kehati-hatian pembicara atau penulis untuk menggunakan kalimat-kalimat sejenis itu.

C. Kesesatan Relevansi
Kesesatan relevansi timbul kalau orang menurunkan suatu kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya, artinya secara logis kesimpulan tidak terkandung atau tidak merupakan implikasi dari premisnya. Kesesatan Relevansi adalah sesat pikir yang terjadi karena argumentasi yang diberikan tidak tertuju kepada persoalan yang sesungguhnya tetapi terarah kepada kondisi pribadi dan karakteristik personal seseorang (lawan bicara) yang sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi argumennya. Kesesatan ini timbul apabila orang menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan premis nya. Artinya secara logis kesimpulan tersebut tidak terkandung dalam/ atau tidak merupakan implikasi dari premisnya.
Jadi penalaran yang mengandung kesesatan relevansi tidak menampakkan adanya hubungan logis antara premis dan kesimpulan, walaupun secara psikologis menampakkan adanya hubungan - namun kesan akan adannya hubungan secara psikologis ini sering kali membuat orang terkecoh.
Kesesatan relevansi timbul jika orang menurunkan suatu konklusi yang tidak relevan dengan premisnya. Maksudnya, secara logis konklusi tidak terkandung atau tidak merupakan imflikasi dari premisnya. Soekadijo (1997), selanjutnya memaparkan bentuk-bentuk kesesatan relevansi yang banyak terjadi seperti berikut ini.
1) Argumentum ad hominem
Kesesatan ini terjadi jika kita berusaha agar orang lain menerima atau menolak sesuatu usulan, tidak berdasarkan alasan penalaran, akan tetapi karena alasan yang berhubungan dengan kepentingan si pembuat usul.
2) Argumentum ad Verecundiam atau Argumentum Auctoritatis
Kesesatan ini juga disebabkan oleh penolakan terhadap sesuatu tidak berdasarkan nilai penalarannya, akan tetapi karena disebabkan oleh orang yang mengemukakannya adalah orang yang berwibawa, dapat dipercaya, seorang pakar. Secara logis tentu dalam menerima atau menolak sesuatu tidak bergantung kepada orang yang dianggap pakar. Kepakaran, kepandaian, atau kebenaran justru harus dibuktikan dengan penalaran yang tepat. Pepatah latin berbunyi, “Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentation” ; yang maknanya, ‘Nilai wibawa itu hanya setinggi nilai argumentasinya’.
Contoh:      *Apa yang dikatakan ulama A pada kampanye itu pasti benar.
           *"Saya yakin apa yang dikatakan beliau adalah baik dan benar karena beliau adalah seorang pemimpin yang brilian, seorang tokoh yang sangat dihormati, dan seorang dokter yang jenius"
3) Argumentum ad baculum
Baculum artinya ‘tongkat’. Maksudnya, kesesatan ini timbul kalau penerimaan atau penolakan suatu penalaran didasarkan atas adanya ancaman hukuman. Jika, kita tidak menyetujui sesuatu maka dampaknya kita akan kena sanksi.kita menrima sesuatu itu karena terpaksa, karena takut bukan karena logis.
Contoh:
Seorang anak yang belajar bukan karena ia ingin lebih pintar tapi karena kalau ia tidak terlihat sedang belajar, ibunya akan datang dan mencubitnya.
4) Argumentum ad misericordiam
Penalaran ini disebabkan oleh adanya belas kasihan. Maksudnya, penalaran ini ditujukan untuk menimbulkan belas kasihan sehingga pernyataan dapat diterima. Argumen ini biasanya berhubungan dengan usaha agar sesuatu perbuatan dimaafkan. Misalnya, seorang pencuri yang tertangkap basah mengatakan bahwa ia mencuri karena lapar dan tidak mempunyai biaya untuk menembus bayinya di rumah sakit, oleh karena itu ia meminta hakim membebaskannya.
5) Argumentum ad populum
Argumentum populum ditujukan untuk massa. Pembuktian sesuatu secara logis tidak perlu. Yang diutamakan ialah menggugah perasaaan massa sehingga emosinya terbakar dan akhirnya akan menerima sesuatu konklusi tertentu. Yang seperti ini biasanya terdapat pada pidato politik, demonstrasi, kampanye, propaganda dan sebagainya.
Contoh:
• Satu juta orang Indonesia menggunakan jasa layanan seluler X, maka sudah pasti itu layanan yang bagus.
• Semua orang yang saya kenal bersikap pro Presiden. Maka saya juga tidak akan mengkritik Presiden.
• Mana mungkin agama yang saya anut salah, lihat saja jumlah penganutnya paling banyak di muka bumi.
6) Kesesatan non cause pro cause
Kesesatan ini terjadi jika kita menganggap sesuatu sebagai sebab, padahal sebenarnya bukan sebab, atau bukan sebab yang lengkap. Contohnya yaitu suatu peristiwa yakni Amir jatuh dari sepeda dan meninggal dunia. Orang menyebutnya bahwa Amir meninggal dunia karena jatuh dari sepeda. Akan tetapi menurut visum et repertum dokter, Amir meninggal dunia karena serangan penyakit jantung.
7) Kesesatan aksidensi
Kesesatan ini terjadi jika kita menerapkan prinsip-prinsip umum atau pernyataan umu kepada peristiwa-peristiwa tertentu yang karena keadaanya yang bersifat aksedential menyebabkan penerapan itu tidak cocok. Contohnya, seseorang member susu dan buah-buahan kepada bayinya meskipun bayi itu sakit, dengan pengrtian bahwa susu dan buah-buahan itu baik bagi bayi, maka si ibu itu melakukan penalaran yang sesat karena aksidensinya. Contoh lain, yaitu makan itu pekerjaan yang baik. Akan tetapi jika kita makan ketika berpuasa, maka penalaran kita sesat karena aksidensi.
8) Kesesatan karena komposisi dan devisi
Ada predikat-predikat yang hanaya mengenai individu-individu suatu kelompok kolektif. Kalau kita menyimpulkan bahwa predikat itu juga berlaku untuk kelompok kolektif seluruhnya, maka penlaran kita sesat karena komposisi. Misalnya, ada beberapa anggota-anggota polisi yang menggunakan senjatanya untuk menodong, kita simpulkan bahwa korps kepolisian itu terdiri atas penjahat. Sebaliknya, jika ada predikat yang berlaku untuk kelompok kolektif dan berdasarkan hal itu disimpulkan bahwa setiap anggota dari kelompok kolektif itu tentu juga menyandang predikat itu, maka penalaran itu sesat karena devisi.
9) Kesesatan karena pertanyaan yang kompleks
Sebuah pertanyaan atau perintah, sering kali bersifat kompleks yang dapat dijawab oleh lebih dari satu pernyataan, meskipun kalimatnya sendiri tunggal. Contohnya, jika ada pertanyaan, “Coba sebutkan macam-macam kalimat!”, maka jawabannya anatara lain: Kalimat tunggal dan kompleks ; kalimat berita, perintah, dan pertanyaan ; kalimat aktif dan pasif ; kalimat susun normal dan inversi.
10) Argumentum ad ignorantum
Argumentum ad ignorantum adalah penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi atas dasar bahwa negasinya tidak terbukti salah, atau yang menyimpulkan bahwa sesuatu konklusi itu salah karena negasinya tidak terbukti benar. Contohnya, jika kita menyimpulkan bahwa mahluk “berbadan halus” itu tidak ada karena tidak dapat kita lihat, hal ini sama saja dengan pernyataan bahwa di Kepulauan Paskah tidak ada piramida karena kita tidak mengetahui adanya piramida di sana.
Banyak dari kesesatan-kesesatan relevansi diidentifikasikan oleh para pakar logika abad pertengahan dan renaisans. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau nama-nama Latin dipakai untuk kesesatan-kesesatan yang dimaksud.

D. Rasionalitas Kesesatan
Istilah “fallacy” uang kita Indonesiakan dengan “kesesatan” adalah istilah yang sudah mapan dalam logika, akan tetapi sebenarnya dapat menyesatkan. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa ada implikasi logis, implikasi definisional, kausal atau empirik, dan intensional. Penalaran yang berdasarkan implikasi logis tidak sahih, mungkin dapat di susun demikian rupa sehingga mengandung implikasi kausal, misalnya. Dan berdasarkan implikasi kausal ini mungkin penalaran itu sahih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar