Pendahuluan
Masyarakat majemuk atau masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan srata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya, dan agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu. (Asykuri, dkk., 2002:107)
Pluralitas baru bermakna positif bila ada interaksi dan relasi saling percaya antara sesama (social-trust). Hal itu merupakan prasyarat untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat. Yaitu masyarakat yang memiliki moral, akhlak, etika, budi luhur, santun, sabar dan arif, menghormati hak asasi, menghormati diri sendiri dan orang lain, bangsa sendiri dan bangsa lain, suku dan kelompok sendiri dan suku serta kelompok lain. Dengan begitu upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi lebih sejahtera, berkeadilan dan berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat itu dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk maksud tersebut diperlukan infrastruktur harmoni sosial dalam kehidupan bersama. Mennghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya primitif, keterbelakangan dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama.
Kerukunan sebagai fakta hanya terdapat pada pada umat pemeluk agama yang sama. Sebaliknya perbenturan yang banyak terjadi antara golongan pemeluk agama yang berlainan tidak sedikit menodai lembaran-lembaran sejarah. Walaupun penyebab utamanya adalah perbedaan iman, namun faktor suku dan ras, faktor perbedaan kebudayaan dan pendidikan turut memainkan peran yang tidak kecil atas kejadian itu.
Dalam makalah ini akan dibicarakan suatu cara khusus menggalang kerukunan antar umat beragama yang dalam satu setengah dasawarsa terakhir merupakan fenomena sosial yang menarik. Cara tersebut ialah “dialog” sudah dikenal dalam kalangan cendikiawan baik di benua Eropa maupun di luar Eropa, yang lazim disebut dunia ketiga. Yang dimaksud dengan kaum cendikiawan ialah golongan intelektual yang resmi atau tidak resmi mewakili penganut agama-agama dan kepercayaan kepada Tuhan Pencipta alam semesta.
Dalam pandangan sosiologi, dialog tersebut termasuk dalam kategori sosiologis. Dialog merupakan salah satu momentum proses sosial, suatu proses berpola yang selalu terjadi dalam masyarakat yang terarah menjadi wadah kerjasama dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kerangka itu dialog merupakan bagian dari proses sosial yang asosiatif, yang bertolak dari situasi kekosongan (vacum) dan kesepian, atau dari situasi konflik yang dialami pihak-pihak yang berkepentingan. Demikianlah dialog dapat merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan bermusuhan dan menciptakan modus vivendi yang damai dan kooperatif.
Pluralitas
Kata pluralitas jelas artinya adalah ada banyak macam, ada perbedaan, ada keanekaan. Pluralitas mengungkapkan fakta bahwa ada banyak. Sedangkan pluralitas keagamaan artinya ada aneka agama dan orientasi keagamaan.
Sebaliknya, kata pluralisme (pluralisme sendiri adalah sikap mendukung pluralitas) bisa dipakai dalam beberapa arti (meskipun sebaiknya tidak), terutama dalam arti dogmatis dan dalam arti sosial.
Dalam arti dogmatis, pluralisme dapat berarti: anggapan bahwa semua agama adalah sama saja. Dan bahwa orang dari semua agama bisa masuk surga. (Hanya) dalam arti ini MUI mengharamkan pluralisme.
Akan tetapi penggunaan kata pluralisme dalam arti dogmatis ini sebaiknya dihindari. Anggapan bahwa semua agama sama saja, sebenarnya justru menghilangkan pluralitas (dan memang bertentangan baik dengan agama Islam maupun Kristiani). Anggapan itu sebaiknya disebut “relativisme agama” karena merelatifkan kebenaran agama (sama dengan mengatakan bahwa semua agama hanya benar bagi para penganutnya, sedangkan “secara objektif” tak ada yang lebih benar dari yang lain).
Sedangkan mengenai hal siapa yang bisa masuk surga adalah urusan ajaran masing-masing agama. Hal ini dibedakan menjadi “eksklusivisme keselamatan” yakni anggapan bahwa hanya penganut agamanya sendiri yang bisa masuk surga, dan “inklusivisme keselamatan” yakni anggapan bahwa semua manusia bisa masuk surga kalau berada di luar agama yang diyakini sebagai benar (misalnya ajaran resmi Gereja Katolik). Mengenai inklusivisme dan ekslusivisme keselamatan hanya agama yang bersangkutan berhak bicara.
Dalam arti sosial atau arti yang biasa dipakai, pluralisme berarti pengakuan dan penerimaan terhadap fakta bahwa ada banyak agama dalam masyarakat kita.
Kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris, pluralism. Kata ini diduga berasal dari bahasa Latin, plures, yang berarti beberapa dengan implikasi perbedaan. Dari asal-usul kata ini diketahui bahwa pluralisme agama tidak menghendaki keseragaman bentuk agama. Sebab, ketika keseragaman sudah terjadi, maka tidak ada lagi pluralitas agama (religious plurality). Keseragaman itu sesuatu yang mustahil. Allah menjelaskan bahwa sekiranya Tuhanmu berkehendak niscaya kalian akan dijadikan dalam satu umat. Pluralisme agama tidak identik dengan model beragama secara eklektik, yaitu mengambil bagian-bagian tertentu dalam suatu agama dan membuang sebagiannya untuk kemudian mengambil bagian yang lain dalam agama lain dan membuang bagian yang tak relevan dari agama yang lain itu.
Pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Frans Magnis-Suseno berpendapat bahwa menghormati agama orang lain tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama adalah sama. Agama-agama jelas berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan syari`at yang menyertai agama-agama menunjukkan bahwa agama tidaklah sama. Setiap agama memiliki konteks partikularitasnya sendiri sehingga tak mungkin semua agama menjadi sebangun dan sama persis. Yang dikehendaki dari gagasan pluralisme agama adalah adanya pengakuan secara aktif terhadap agama lain. Agama lain ada sebagaimana keberadaan agama yang dipeluk diri yang bersangkutan. Setiap agama punya hak hidup.
Nurcholish Madjid menegaskan, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. QS, al-Mumtahanah [60]: ayat 8.
Paparan di atas menyampaikan pada suatu pengertian sederhana bahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullâh) dan berupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dikatakan secara positif, agar umat beragama tidak memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi. Dinyatakan secara optimis, karena kemajemukan agama itu sesungguhnya sebuah potensi agar setiap umat terus berlomba menciptakan kebaikan di bumi.
Kerukunan Antar Umat Beragama
Bangsa Indonesia hidup dalam “plural society”, masyarakat serba ganda, ganda kepercayaan, kebudayaannya, aspirasi politiknya, agamanya, dan sebagainya. Masyarakat Indonesia beragama dituntut supaya rukun dalam kehidupan agama. Rukun dalam kehidupan agama dapat tercipta apabila tiap-tiap orang saling tenggang-menenggang rasa dan lapang dada (toleransi).
Ada beberapa pemikiran yang diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan agama, yaitu;
Pertama, pendapat bahwa semua agama adalah sama. Ini dinamakan sinkretisme. Dalam kitab Bagayat Gita terdapat ungkapan: “barangsiapa datang kepadaku, dengan cara bagaimana, dan melalui jalan mana pun juga, aku dapat menemui dia. Mereka semuanya berjalan tersaruk-sarukdengan sesah payah menempuh berupa-rupa jalan, yang semua berujung kepada Aku”. Max Muller (1823-1900), seorang sarjana bahasa dan sejarah dalam bukunya Vorlesungen uber Religionswissenschaft, mengemukakan pendapat tentang persamaan hakiki daripada agama-agama. Menurut dia, tiap-tiap agama adalah benar, bahkan juga agama-agama suku.
Kedua, dengan jalan reconception, artinya menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Tokohnya ialah W.E. Hocking; dan pemikirannya diuraikan dalam bukunya The Coming World Civilization. Ia berpendapat bahwa segala agama adalah sama saja. Yang menjadi soal pokok dalam pikiran Hocking ialah bagaimana sebenarnya perhubungan antara agama-agama yang terdapat di dunia ini, dan bagaimana dapat dipenuhio rasa kebutuhan akan adanya satu agama dunia. ia menyatakan , bahwa agama adalah satu keinginan akan suatu cara hidup yang benar dan keinginan untuk meratakan cara hidup sedemikian, serta keinginan itu adalah desakan atau tuntutan alam semesta. Jadi agama tidak sama dengan moral. Agama bersumber pada kosmos dan dunia metafisis. Keinginan yang timbul dari metafisik itu menurut dia, inti segala agama.
Ketiga, denagn jalan sintesis, ialah menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambil dari berbagai agama, supaya dengan demikian, tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintetis (campuran) itu. Dengan jalan ini, orang menduga bahwa kehidupan agama akan rukun.
Keempat, dengan jalan penggantian, ialah mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama yang lain adalah salah: dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama itu masuk dalam agamanya. Ia tidak rela, bahwa orang lain itu mempunyai agama dan kepercayaan yang berlainan dengan agamanya. Agama-agama yang hidup itu harus diganti dengan agamanya yang ia peluk, dan dengan itu ia menduga bahwa kerukunan hidup beragama baru dapat tercipta.
Kelima, dengan jalan agree in disagreement (setuju dalam perbedaan). Ia percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Dan yakin bahwa di antara agama satu dengan lainnya, selain terdapat perbedaan juga terdapat persamaan. Dan berdasarkan pengertian itulah, saling harga menghargai ditimbulkan antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain.
Agar kerukunan hidup antarumat beragama menjadi etika dalam pergaulan kehidupan beragama, Hugh Goddard, seorang Kristiani Inggris, yang ahli teologi Islam, mengingatkan demi kerukunan antarumat beragama, harus dihindari penggunaan “standar ganda” (double standars). Orang-orang Kristen ataupun Islam, misalnya, selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya; biasanya standar yang ditunjukkan bersifat ideal dan normatif. Sedangkan terhadap agama lain, mereka memakai standar lain yang lebih bersifat realistis dan historis. Melalui standar ganda inilah, muncul prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antarumat beragama. Ada-tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan mengenai standar ganda kita. Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia, merupakan contoh dari penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya sendiri. Melalui standar ganda inilah terjadinya perang dan klaim-klaim kebenaran dari satu agama atas agama lain.
Ternyata tampak ke permukaan, berkaitan dengan terjadinya konflik antaragama, bisa sebagai akibat kesenjangan ekonomi (kesejahteraan), perbedaan kepentingan politik, ataupun perbedaan etnis. Akhirnya, konsep kebenaran dan kebaikan yang berakar dari ideologi politik atau wahyu Tuhan sering menjadi alasan pembenaran atas penindasan kemanusiaan.
Demi terciptanya hubungan eksternal agama-agama, perlu dilakukan dialog antaragama. Sedangkan untuk internal agama, diperlukan reinterpretasi pesan-pesan agama yang lebih menyentuh kemanusiaan yang universal. Dalam hal ini, peran para tokoh agama (ulama) mesti lebih dikedepankan.
Kerukunan sebagai tugas setiap agama
Kerukunan sendiri belum merupakan nilai terakhir, tetapi baru merupakan suatu sarana yang harus ada sebagai “conditio sine qua non” untuk mencapai tujuan lebih jauh yaitu situasi aman dan damai.
Diseluruh dunia kini telah tumbuh suatu kesadaran yang semakin mendalam bahwa manusia-manusia dari tradisi keagamaan yang berbeda harys bertemu dalam kerukunan dan persaudaraan daripada dalam permusuhan. Cita-cita di atas pada intinya memang merupakan ajaran fundamental dari setiap agama. Kiranya hal itu bukanlah sekedar cita-cita tetapi tugas kewajiban yang harus dilaksanakan dan diwujudkan dalam kenyataan oleh setiap agama. Adanya tugas yang suci itu ditemukan dalam setiap agama dan dirumuskan dalam kalimat yang berbeda baik kata-kata maupun nuansanya, namun sama hakekatnya.
Tetapi patut disayangkan bahwa cita-cita keselamatan dan kedamaian itu tidak selalu menjadi kenyataan yang merata dimana-mana. Sebagai gantinya terjadilah sebalikya, yaitu permusuhan dan bentrokan antar umat beragama. Inilah yang sering menjadi ironi dari agama, atau bahkan lebih buruk lagi yaitu tragedi agama.
Sekarang ini kita hidup dalam suatu zaman dimana kerukunan tidak dapat dielakkan. Pertama, kita tidak hidup dalam masyarakat tertutup yang dihuni satu golongan pemeluk satu agama yang sama, tetapi dalam masyarakat modern, dimana komunikasi dan hidup bersama dengan golongan beragama lain tidak dapat ditolak demi kelestarian dan kemajuan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, kita hidup dalam masyarakat plural baik kepercayaan maupun kebudayaannya.
Kesimpulan
Jika kaidah-kaidah pluralitas agama seperti di atas, satu saja dilanggar oleh salah satu pemeluk agama, dan pelanggaran itu mengganggu kehormatan (pemeluk) agama lain, tentu akan terjadi disharmonisasi kehidupan bersama, bahkan sampai bentuk yang terberat sekalipun, konflik atau perang.
Pemaksaan kepada pemeluk agama Islam untuk berpindah ke agama Kristen lewat proyek Kristenisasi akan menimbulkan tindakan pelanggaran lain terhadap kaidah pluralitas agama, misalnya pembakaran gereja yang dianggap menjadi pusat (perencanaan) Kristenisasi. Kasus pembakaran kompleks Dolulos mungkin bisa dijelaskan dengan hukum aksi-reaksi ini. Pembakaran gereja di Mataram dan Yogyalarta, dalam konteks ini pun, tidak akan terjadi jika tidak ada upaya sistematis pemusnahan umat Islam di Maluku (Utara).
Demikianlah seterusnya yang terjadi jika terjadi pelanggaran terhadap kaidah pluralitas agama. Setiap ada pelanggaran akan memunculkan pelanggaran baru dan akan sulit terciptanya kerukunan antarumat beragama.
Akuilah, bahwa disamping perbedaan yang terdapat diantara satu agama dengan agama yang lain, masih banyak persamaan-persamaannya. Dan berdasarkan pengertian itulah saling hormat menghormati dan harga menghargai ditumbuhkan. Dan dengan dasar inilah, maka kerukunan dalam kehidupan beragama dapat diciptakan. Hormatilah manusia itu dengan segala totalitasnya, termasuk agamanya.