Minggu, 24 Juli 2011

Tips Supaya Nggak Gampang Marah


Marah memang merupakan ungkapan emosi seseorang. Tapi adakah teman Bergaul yang gampang sekali terpancing amarahnya? Dikit-dikit bawaannya pengen ngomel teriak-teriak dan parahnya lagi kalau sampai banting-banting barang. Duhh.. jangan dong yaa.. Nah buat kamu yang gampang marah berikut ini ada beberapa tips bagaimana mengendalikan diri saat marah. Yuk intip tipsnya!

Tarik nafas dalam-dalam saat sedang marah dapat membuat meredakan emosi. Tariklah nafas yang dalam dan buanglah nafas secara perlahan lakukan berulang sampai rasa marahmu mereda.

Lakukan hobby positif yang dapat menyalurkan emosi dan amarahmu misalnya bermain piano gitar. Melukis menulis. Nah kamu bisa menjadikan energy negatifmu menjadi sesuatu yang positif. 

Rajinlah berolahraga agar pikiranmu tidak mudah stress. Dengan gaya hidup sehat kita menjadi tidak mudah stress yang dapat memicu amarah.

Mandi juga dapat meredakan amarah karena dengan mandi tubuh menjadi segar dan tak jarang bisa mendinginkan kepala.

Pasang musik kesukaanmu sambil relaksasi juga dapat meredam amarahmu. Diam sejenak dan pasang earphone mendengarkan musik dan sambil bernyanyi keras-keras juga dapat meluapkan energy amarahmu tanpa menyakiti orang lain yang kamu marahi.

Cari tahu apa faktor yang dapat membuatmu cepat marah dan ubahlah cara berpikirmu. Contohnya kamu merasa semuanya kacau tapi berpikirlah kekacauan tersebut bukanlah akhir dari segalanya. Diamlah beberapa saat dan bicarakan dengan baik-baik hal yang membuatmu kurang suka.

UPACARA PENGUBURAN JENAZAH DALAM MASYARAKAT CINA YANG BERAGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA


  1.    Ajaran Khonghucu tentang Kematian
Upacara kematian dalam agama Khonghucu dapat diartikan sebagai proses pengurusannya yang diikuti dengan berbagai upacara penghormatan yang dilakukan oleh keluarga dan para umat Khonghucu yang ikut dalam upacara tersebut.

a.    Sumber Ajaran Khonghuc
   Ajaran dan filsafat Khonghucu dihimpun oleh murid-muridnya dalam empat buah kitab dan lima buah karya klasik. Keempat buah kitab dan lima buah karya klasik tersebut, dikenal dengan istilah Su Si dan Ngo King. Keempat kitab tersebut adalah: (a) Lun Gi atau ajaran dan perkataan Khonghucu, yang dihimpun oleh murid-muridnya, (b) Tay Hak  (Ajaran Besar atau the Great Learning), yaitu suatu risalah yang ditulis oleh Ceng Ce, murid nabi Khongcu,(c) Tiong Yong (Tengah Sempurna atau Doctrine of Mean) yang ditulis oleh Cu Su, dan (d) Beng Cu (Pokok-pokok ajaran Mencius).
Kelima karya klasik yang disebut di atas adalah: (a) Yaking atau kitab tentang perubahan, (b) Su Keng atau kitab tentang sejarah, (c) Si Keng atau kitab tentang Sanjak, (d) Lee Ki atau kitab tentang tata upacara, dan (e) Chun Chiu atau Kitab Sejarah Zaman Muslim Semi dan Gugur.[1] Keempat kitab (Su Si) dan kelima Kitab (Ngo King) inilah yang merupakan sumber ajaran bagi umat Khonghucu.
Di Indonesia, kitab Su Si yang terdiri dari empat buah kitab sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Matakin yang berpusat di Solo. Kitab Su Si ini menyerupai Alkitab dalam agama Kristen, dan dijadikan sebagai suatu ajaran utama bagi penganut Khonghucu di Indonesia.[2] Di samping sebagai ajaran utama bagi penganut Khonghucu, kitab  Su Si juga digunakan dalam upacara ibadat, terutama dalam upacara kematian dan perkawinan.

b.    Penguburan Mayat
Penguburan mayat yang dilakukan oleh orang-orang ketika Khonghucu masih hidup tidaklah dilakukan dengan sewajarnya, mayat tersebut ada yang dikubur tanpa peti, kuburan tidak tidak digali dengan dalam, dan lain-lain. Dengan demikian tidaklah heran jika mayat yang sudah dikuburkan akan menimbulkan bau yang kurang enak. Untuk menghilangkan tradisi buruk itu, Khonghucu melakukan berbagai perubahan dalam penguburan mayat. Oleh karena itu, ketika ibunya meninggal dunia, dia kuburkan ibunya itu seperti penguburan istri-istri pembesar, membawa jenazah ibunya dengan iring-iringan kehormatan kegunung Hong San, dan dikuburkan di sebelah kuburan ayahnya.[3] Tradisi menguburkan jenazah secara sebelah-menyebelah ini masih kita temukan di kalangan masyarakat Cina keturunan di Indonesia.
Menurut Khonghucu, manusia itu ialah makhluk utama, maka meski tubuhnya tidak bernafas lagi kita tetap harus menghormatinya. Selanjutnya dia mengatakan, bahwa menusia itu wajib mencintai sesamanya sebagai saudara; kecintaan sesama manusia terjalin bagaikan tali yang menghubungkan satu dengan yang lainnya. Setiap orang yang hidup masih mempunyai hubungan dengan yang mati, walaupun secara jasmani mereka sudah tiada, tapi secara rohani mereka masih tetap ada. Kebanyakan manusia hanyalah sekadar mewarisi pekerjaan dan harta dari yang meninggal dunia, dan ini dianggap kurang baik. Yang baik menurut Konfucius, adalah membalas budi orang yang telah mati, menghormatinya dan berbakti kepadanya sesuai dengan kemampuan kita.[4]
Di samping itu, Konfucius, juga melakukan perkabungan ketika ibunya meninggal dunia, dia melakukan perkabungan selama 27 bulan, dan dia juga melakukan larangan atau pantangan selama masa berkabung, seperti misalnya tidak bersenang-senang dan dia mengisi waktu perkabungannya itu dengan hal-hal yang berguna dan bermanfaat. Konfucius juga menganjurkan agar dalam masa perkabungan supaya bekerja sebagaimana mestinya.[5]
Menurut peraturan peradaban Cina di Indonesia perkabungan untuk orang tua atau untuk suami lamanya ialah 3 tahun, tapi pada dasarnya yang dilakukan hanyalah 2 tahun. Selama melakukan perkabungan kegiatan mencari nafkah masih tetap dilakukan sebagaimana mestinya, hanya saja mereka tidak mengenakan perhiasan emas, tidak mengunjungi pesta, dan tidak mengadakan perayaan-perayaan.[6]
Mengenai upacara kematian atau berkaung, Fung Yu-lan, seorang professor filsafat di Universitas Tsinghua, mengatakan bahwa yang terpenting bagi penganut Khonghucuisme dalam upacara kematian ialah upacara berkabung serta upacara penyajian korban terutama bagi para leluhur. Menurutnya upacara ini banyak mengandung takhayul dan mitologi. Penganut Khonghucuisme berusaha memberikan penafsiran baru dan memasukkan gagasan-gagasan baru di dalamnya, dalam rangka memberikan kebenaran terhadap takhayul dan mitologi tersebut. Kenyataan ini dapat dilihat dalam kitab Hsun-tzu dan Li Chi atau Kitab Upacara Adat.[7]

c.    Upacara Sederhana
Khonghucu pada dasarnya tidak menghendaki adanya upacara kematian yang dilakukan secara berlebihan, sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat Cina keturunan di Indonesia yang cenderung melakukan upacara dengan cara berlebihan.
Mengenai upacara sederhana telah dikatakan oleh Khonghucu di dalam Kitab Lun Gi atau Sabda Suci sebagai berikut: “Di dalam upacara, daripada mewah menyolok, lebih baik sederhana. Di dalam upacara duka, daripada meributkan perlengkapan upacara, lebih baik ada rasa sedih yang benar.” (Lun Gi Jilid III A: 4/3) Dari ayat ini jelas bahwa Khonghucu tidak menyukai hal-hal yang bersifat berlebihan dan beliau hanya menyukai hal yang sederhana, terutama di dalam upacara kematian.
2.    Tujuan Upacara Kematian
Secara umum, tujuan upacara kematian adalah sebagai berikut:
F Untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia supaa rohnya mendapat ketenangan dan kedamaian di tempat yang abadi disisi Tuhan.
F Untuk menunjukkan rasa bakti seorang anak kepada orangtuanya yang meninggal dunia secara sungguh-sungguh. Menurut Khonghucu, ekspresi seorang anak yang berbakti bukanlah ditunjukkan dengan tangisan yang meratap-ratap, akan tetapi bagaimana mereka melaksanakan upacara kematian itu dengan sebenar-benarnya.
F Apabila dilihat dari kebudayaan fenomena, tujuan upacara kematian adalah pewarisan nilai-nilai atau norma-norma melalui proses sosialisasi. Upacara ini merupakan serangkaian aktivitas yang berorientasi pada penggunaan dan penghayatan pada simbol-simbol, dan memberikan kesadaran terhadap pendukung upacara mengenai nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam simbol-simbol tersebut. Dengan demikian upacara kematian yang dilakukan secara berkala maupun secara berulang-ulang merupakan wadah sosialisasi dan keagamaan bagi masyarakat pendukung upacara.
                                                                                                            
3.    Bentuk-bentuk Upacara Kematian
Adapun bentuk-bentuk upacara kematian dalam masyarakat Cina keturunan di Indonesia yang menganut agama Khonghucu dapat dibagi 7 bagian besar,[8] yaitu:
1)   Saat upacara Jib Bok (memasukkan jenazah ke dalam peti)
2)   Saat upacara Mai Song[9] (malam menjelang pemberangkatan jenazah)
3)   Saat upacara Sang Cong[10] (pemberangkatan jenazah)
4)   Saat upacara Jib Gong (pemakaman jenazah)
5)   Saat upacara Peng Tuh atau Ki Hok[11] (membalik meja)
6)   Saat upacara Siau Siang[12] (1 tahun)
7)   Saat upacara Tai Siang[13] (3 tahun).
Upacara-upacara tersebut di atas yang masih erat hubungannya dengan ajaran Khonghucu setelah proses pemakaman ialah upacara Ki Hok, Siau Siang, dan Tai Siang. Sedangkan upacara sembahyang tiga hari, tujuh hari, empat puluh sembilang hari, dan seratus hari tidak diwajibkan dan ini hanya berdasarkan tradisi setempat.[14] Tradisi seperti ini tidak hanya dijumpai di dlam upacara kematian masyarakat Indonesia keturunan Cina, tetapi juga di dalam tradisi umat Islam dalam hal kematian terutama jumlah harinya.

4.    Penutup
Bentuk-bentuk upacara kematian yang dilakukan oleh orang-orang Cina keturunan yang menganut agama Khonghucu dilakukan dengan mempersembahkan sesajian berupa makanan yang dihidangkan di atas altar (meja sembahyang) untuk arwah orang yang telah meninggal dunia. Kemudian dilakukan dengan penghormatan yang dilakukan oleh para keluarga yang ditinggal, dengan menaikkan beberapa batang dupa atau hio.
Upacara kematian yang dilakukan oleh umat Khonghucu ini tampaknya memiliki perbedaan di antara satu daerah dengan daerah yang lain di Indonesia. Perbedaan ini terletak pada cara-cara yang mereka lakukan dan peralatan yang mereka gunakan untuk persembahan pada arwah leluhur dan pakaian yang mereka gunakan untuk berkabung. Meskipun terdapat perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain di Indonesia, tetapi hal ini tidaklah mengurangi esensi dari upacara tersebut.
Simbol-simbol yang digunakan dala upacara kematian ini, semuanya memiliki makna tersendiri khususnya bagi keluarga yang ditinggal, dan umat Khonghucu umumnya. Makna dari simbol-simbol tersebut di samping memberikan ketenangan batin bagi keluarga yang ditinggal dan juga sering kali dihubungkan dengan orang yang telah meninggal dunia. Meskipun makna dari simbol ini sulit diterima secara akal sehaht, namun para keluarga yang ditinggal mati sangat meyakininya.[15]

[1] Cina Hand Book (New York: Rockport Press, Inc, 1950), h.24
[2] Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Terjemahan Dede Oetomo, (Jakarta: PT Gramedia, 1998), h.67
[3] Zhongguo Lishi Yanjiau Hui, Zhongguo Tongshi Jianbian,, (Beijing: Renmin Chuban She, 1951), h. 120, yang dikutip dari Sabina Susie Kusasih, Sekilas tentang Tiga Agama Tiongkok (Skripsi), (Fakultas Sastra UI, 1978), h. 41.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang (Jakarta: Keng Po, 1961), h. 190.
[7] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosoph  (New York: The Free Press, 1948), h. 148.
[8] Matakin, Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghuc (Solo: Matakin), tanpa Ciri Tahun, h. 133.
[9] Istilah Mai Song diambil dari dialek Hokkain, secara etimologi “Mai” ialah “pintu” dan “Song” adalah “duka”. Dengan demikian “Mai Song” adalah “Pintu duka”.
[10] “upacara mengantar jenazah ke tempat pemakaman”
[11] Ki Hok disebut juga Peng Tuh. Secara etimologi ”Ki” berarti ‘harapan suci melalui doa’ dan “Hok” adalah ‘rahmat’. Selain itu, Ki Hok juga diartikan sebagai “sembahyang 7 hari”, yang dihitung mulai dari jenazah dimakamkan. Upacara ini dilakukan pada malam menjelang hari ke tujuh, dihitung dari mulai jenazah itu dimakamkan. Pada malam ini dilakukan sembahyang untuk orang yang telah meninggal dunia. Di Jakarta, sembahyang ini dikenal dengan istilah “Peng Tuh”, artinya meja-meja yang digunakan untuk sembahyang pada saat pemakaman jenazah dibalk, dan ini menunjukkan bahwa upacara pengurusan jenazah sudah dianggap selesai. (Nio Joe Lan: 1990-1939). h. 188.
[12] Istilah Siau Siang diambil dari dialek Hokkian. Secara etimologi “Siau” adalah “kecil” sedangkan “Siang” adalah “keberkahan”. Umumnya, di kalangan masyarakat keturunan Cina di Indonesia yang menganut agama Khonghucu diartikan sebagai upacara berkabung selama 1 tahun. Dihitung dari saat penguburan jenazah.
[13] Istilah Tai Siang diambil dari dialek Hokkian yang secara etimologi “Tai” adalah “besar” sedangkan “Siang” adalah “keberkahan”.
[14] Matakin, Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu, h. 122.
[15] Dr. M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesi (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h. 169.

Antara Cinta dan Nafsu


      Bagi sebagian orang mengatakan cinta dan nafsu itu sama saja. Tapi tidak menurut saya. Buat saya pribadi cinta dan nafsu jelas dua hal yang berbeda. Meski perbedaannya sangat tipis, mungkin itu yang membuat orang sering terkecoh, tidak bisa membedakan mana nafsu, mana cinta..?
Cinta yang sebenarnya selalu menunjukkan jalan atau arah menuju kebahagiaan bagi orang-orang yang menjalaninya. Seorang pecinta yang sudah menemukan dan memahami makna cinta sejati dalam dirinya akan berada pada kondisi yang membahagiakan. Sebaliknya, orang-orang yang terkecoh dengan nafsu dan menganggap nafsu adalah cinta akan berada dalam kondisi yang membahayakan. Kita tidak bisa memungkiri, di mana ada kebaikan, di situlah setan menggoda manusia agar terjerumus kepada hal-hal yang tidak diiginkan.
Apabila seseorang yang mencintai pasangannya dengan sebenar-benarnya cinta akan mengarahkan hubungannya menuju kebahagiaan sejati dengan cara menjaga dan menyayangi pasangannya. Tanpa bermaksud untuk merusak dan menyakiti. Selain itu, orang yang menjalin hubungan dengan landasan cinta akan senantiasa memperlakukan pasangannya dengan cara-cara yang baik. Menjaga, menyayangi, memperhatikan dan selalu memberikan yang terbaik. Lain halnya dengan orang-orang yang menjalin hubungan dengan landasan nafsu, mereka akan membawa hubungannya kearah kebahagiaan yang semu dan mengarah kepada hal yang berbau dengan seks. Yang justru akan menjerumuskan mereka ke dalam situasi yang tidak diinginkan.
Ketika seseorang menjalin hubungan atas dasar cinta maka hal pertama yang dilakukannya adalah memberikan yang terbaik kepada pasangannya, bukan ingin diberi. Logikanya, kalau kita dan pasangan sama-sama ingin memberi (kita ingin memberi kepada pasangan dan pasangan ingin memberi kepada kita) secara otomatis keduanya akan menerima. Tapi kalau kita dan pasangannya inginnya diberi (pasangan ingin diberi dan kita juga ingin diberi) lalu siapa yang akan memberi..? Pada akhirnya yang terjadi justru tidak ada yang akan diberi karena tidak ada yang ingin memberi.
Perlu kita ketahui bahwa nafsu adalah sesuatu perasaan yang pasti dimiliki oleh semua orang, termasuk saya sendiri. Tapi itu bukan berarti kita harus merasa santai dan membiarkan nafsu kita berkembang tanpa kontrol, karena nafsu yang terlalu besar bisa membuat kita lupa diri dan lepas kendali. Memang dengan nafsu kita bisa melakukan hal-hal yang diluar kendali, tapi dengan nafsu juga kita menjadi lebih giat untuk mengejar apa yang kita inginkan. Sebagai contoh, misalnya kita bernafsu ingin punya mobil mewah, sehingga membuat kita bekerja lebih giat lagi untuk mewujudkannya.Sedang cinta adalah perasaan menyayangi sesuatu yang juga dimiliki oleh semua manusia. Disini perasaan menyanyangi juga bukan hanya kepada lawan jenis, orang tua atau sesama manusia saja, tapi juga kepada lingkungan sekitar kita. Perasaan cinta tidak harus memiliki seperti nafsu, tapi lebih kepada merasa bahagia karena hal yang kita cintai bahagia, senang, dan tidak mempunyai masalah. Nafsu atau yang juga disebut hasrat dibutuhkan oleh manusia seperti halnya juga perasaan cinta yang harus dimiliki oleh manusia.
Kedua hal ini berjalan bersamaan dan tak bisa dipisahkan begitu saja karena kedua hal ini bergabung menjadi apa yang kita sebut dengan perasaan, yang kemudian membuat kita menjadi manusia. Nafsu dan cinta akan selalu berjalan beriringan, dimana nafsu atau hasrat mementukan jalan kita untuk meraih impian, sedangkan cinta adalah pengontrolnya, yang membuat kita melihat sekeliling dan berusaha agar kita tak merusaknya karena nafsu yang berlebihan. Dan kedua hal ini harus dijaga keseimbangannya untuk selamanya karena bukan manusia bila tak memiliki perasaan cinta, tapi juga bukan berarti manusia bila ia tidak memiliki nafsu.

PENDEKATAN PSIKOLOGI



Pendekatan ini bermaksud mencari hubungan atau pengaruh agama terhadap kejiwaan pemeluk agama atau sebaliknya pengaruh kejiwaan sang pemeluk terhadap keyakinan keagamaannya. Para psikolog religius meyakini ada dimensi yang sakral, spiritual, divine, transenden, super-natural yang tidak empiris yang dapat mempengaruhi kejiwaan manusia. Namun, para psikolog non-religius menolak dimensi-dimensi itu atau paling tidak sangat meragukannya. Psikolog non-religius biasanya akan berusaha menjelaskan fenomena keagamaan seseorang tanpa perlu merujuk kepada realitas-realitas yang super-natural itu, sementara psikolog religius ingin tetap membuka kemungkinan realitas itu menjadi satu faktor yang berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang.[1]
Pendekatan ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-aspek batini pengalaman keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu benar-benar ada dan bahwa dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat diketahui. Akan tetapi, usaha untuk menemukan esensi dan menentukannya sebagai suatu pemahaman seringkali sia-sia.[2] Sentimen-sentimen individu dan kelompok berikut gerak dinamisnya, harus pula diteliti dan inilah yang menjadi tugas interpretasi psikologis.
Interpretasi agama melalui pendekatan psikologis ini memang berkembang dan dijadikan sebagai cabang dari psikologi dengan nama psikologi agama. Objek ilmu ini adalah manusia, dalam pengertian tingkah laku manusia yang beragama, gejala-gejala empiris dari keagamaannya. Karena ilmu ini tidak berhak mempelajari betul tidaknya suatu agama, metodenyapun tidak berhak untuk menilai atau mempelajari apakah agama itu diwahukan Tuhan atau tidak, dan juga tidak berhak mempelajari masalah-masalah  yang tidak empiris lainnya.
Oleh karena itu, metode psikologis tidak berhak menentukan benar salahnya suatu agama karena ilmu pengetahuan tidak memiliki teknik untuk mendemonstrasikan hal-hal seperti itu, baik sekarang maupun waktu yang akan datang. Selain itu sifat ilmu pengetahuan sifatnya adalah empirical science, yakni mengandung fakta empiris yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah fakta yang dapat diamati dengan pola indera manusia pada umumnya, atau dapat dialami oleh semua orang biasa, sedangkan Dzat Tuhan, wahyu,  setan, dan fakta ghaib lainnya tidak dapat diamati dengan pola indera orang umum dan tidak semua orang mampu mengalaminya.[3]
Sumber-sumber pokok untuk mengumpulka data ilmiah melalui pendekatan psikologi ini dapat diambil dari:
1.      Pengalaman dari orang-orang yang masih hidup.
2.      Apa yang kita capai dengan meneliti diri kita sendiri.
3.      Riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, atau yang ditulis oleh para ahli agama.[4]
Williams James dalam bukunya the Varieties of Religious Experience  mendasarkan penelitiannya atas pengalaman pribadi orang-orang terkemuka dalam agama, kemudian mengumpulkan dan menganalisisnya. Begitu pula Thouless mempergunakan data-data dari agama Kristen sehingga ia berpendapat bahwa yang terpenting untuk dibicarakan dalam ilmu jiwa agama adalah bagaimanakah dasar-dasar kesadaran akan kepercayaan kepada Tuhan yang terdapat dalam pikiran orang beriman dalam agama yang lebih maju.[5]
Banyak yang menulis bahwa tokoh dalam studi agama melalui pendekatan psikologis adalah Freud. Padahal ia bukan seorang ahli di bidang ilmu jiwa agama sebagaimana C.G. Jung atau Williams James. Freud adalah seorang psikoanalisis. Ia menganalisis kejiwaan dengan brilian sehingga banyak menemukan metode dalam terapi-terapi kejiwaan. Namun dalam perkembangan penelitiannya, ia kemudian menyerang ilmu jiwa agama. Sebagai gambaran dari pendekatan psikologi ini, berikut akan dikemukakan pandangan Freud tentang agama.
Menurut Freud, agama berasal dari ketidakberdayaan dan ketidakmampuan manusia menghadapi kekejaman alam semesta yang setiap saat mengancam dirinya, separti banjir, letusan gunung berapi, gempa bumi, dan lain-lain. Karena kelemahannya, manusia mencari perlindungan kepada suatu dzat yang transenden, yang abstrak, yang diharapkan dapat melindungi dirinya dari segala macam ancaman itu. Terhadap rasa takut inilah, manusia membangun suatu perlindungan berupa tuhan agama. (Erich Fromm, 1976 : 11).
Karena rasa takut merupakan esensi psikologi, sudah tentu agama timbul sebagai jawaban untuk mengatasi rasa takut dan tidak tenteram. Rasa takut adalah suatu keadaan jiwa yang ditandai oleh suatu pengertian atau bayangan bahwa keutuhan fisik atau suatu organ lain, dalam keadaan berbahaya. Kepercayaan akan adanya Tuhan , sebagai contoh, tidaklah berarti kita tidak dapat atau tidak rela mempergunakan akal pikiran terhadap dunia yang berada di sekeliling kita, tetapi semata-mata hal itu karena penerimaan kita tentang ide wujud Tuhan bukan sebagai hasil penyelidikan atau kepastian rasional, tetapi akal hanya sebagai penolong untuk mempertahankan kepercayaannya dan tidak mempertanyakan kebenaran tingkah laku kepercayaan itu sendiri.[6]
Dari contoh diatas, Freud dalam penelitiannya terhadap agama menitikberatkan pada aspek-aspek sosial dari agama itu, yang digambarkan melalui analisisnya terhadap agama orang-orang primitif, sehingga ditemukan hubungan antara ‘komplek oedip’ denagn upacara-upacara agama. karena yang menjadi perhatian Freud adalah totem sebagai sistem sosial yang mula-mula terdapat dalam kehidupan primitif, totem itu sendiri adalah suatu fenomena sosial yang tersimpul padanya permulaan sietem masyarakat dengan agama sederhana yang dikendalikan dengan beberapa larangan keras---taboo.[7]


[1] Peter Connoly, “Psychological Approaches”, dalam Approaches to the study of Religion, Peter Connoly (ed.) (London: Cassel, 1999), h. 136.
[2] Isma’il R. Al-Faruqi, Pengalaman Keagamaan dalam Islam, (Yogyakarta, Terj. PLP2M, 1985),h. 1.
[3] A. Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, (Bandung: Martiana, 1981), h. 9. dan Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:Bulan Bintang,1979), h. 17-19.
[4] Zakiah Daradjat, op. cit., h. 20.
[5] Ibid., h. 21.
[6] Francisco J. Moreno, Agama dan Akal Pikiran, terj. Rajawali, (Jakarta: Rajawali, 1985), h. 3 dan 128.
[7] Zakiah Daradjat, op. cit., h. 39.

PLURALITAS; KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

Pendahuluan
Masyarakat majemuk atau masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan srata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya, dan agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu. (Asykuri, dkk., 2002:107)
Pluralitas baru bermakna positif bila ada interaksi dan relasi saling percaya antara sesama (social-trust). Hal itu merupakan prasyarat untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat. Yaitu masyarakat yang memiliki moral, akhlak, etika, budi luhur, santun, sabar dan arif, menghormati hak asasi, menghormati diri sendiri dan orang lain, bangsa sendiri dan bangsa lain, suku dan kelompok sendiri dan suku serta kelompok lain. Dengan begitu upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi lebih sejahtera, berkeadilan dan berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat itu dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk maksud tersebut diperlukan infrastruktur harmoni sosial dalam kehidupan bersama. Mennghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya primitif, keterbelakangan dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama.
Kerukunan sebagai fakta hanya terdapat pada pada umat pemeluk agama yang sama. Sebaliknya perbenturan yang banyak terjadi antara golongan pemeluk agama yang berlainan tidak sedikit menodai lembaran-lembaran sejarah. Walaupun penyebab utamanya adalah perbedaan iman, namun faktor suku dan ras, faktor perbedaan kebudayaan dan pendidikan turut memainkan peran yang tidak kecil atas kejadian itu.
Dalam makalah ini akan dibicarakan suatu cara khusus menggalang kerukunan antar umat beragama yang dalam satu setengah dasawarsa terakhir merupakan fenomena sosial yang menarik. Cara tersebut ialah “dialog” sudah dikenal dalam kalangan cendikiawan baik di benua Eropa maupun di luar Eropa, yang lazim disebut dunia ketiga. Yang dimaksud dengan kaum cendikiawan ialah golongan intelektual yang resmi atau tidak resmi mewakili penganut agama-agama dan kepercayaan kepada Tuhan Pencipta alam semesta.
Dalam pandangan sosiologi, dialog tersebut termasuk dalam kategori sosiologis. Dialog merupakan salah satu momentum proses sosial, suatu proses berpola yang selalu terjadi dalam masyarakat yang terarah menjadi wadah kerjasama dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kerangka itu dialog merupakan bagian dari proses sosial yang asosiatif, yang bertolak dari situasi kekosongan (vacum) dan kesepian, atau dari situasi konflik yang dialami pihak-pihak yang berkepentingan. Demikianlah dialog dapat merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan bermusuhan dan menciptakan modus vivendi yang damai dan kooperatif.


Pluralitas
Kata pluralitas jelas artinya adalah ada banyak macam, ada perbedaan, ada keanekaan. Pluralitas mengungkapkan fakta bahwa ada banyak. Sedangkan pluralitas keagamaan artinya ada aneka agama dan orientasi keagamaan.
Sebaliknya, kata pluralisme (pluralisme sendiri adalah sikap mendukung pluralitas) bisa dipakai dalam beberapa arti (meskipun sebaiknya tidak), terutama dalam arti dogmatis dan dalam arti sosial.
Dalam arti dogmatis, pluralisme dapat berarti: anggapan bahwa semua agama adalah sama saja. Dan bahwa orang dari semua agama bisa masuk surga. (Hanya) dalam arti ini MUI mengharamkan pluralisme.
Akan tetapi penggunaan kata pluralisme dalam arti dogmatis ini sebaiknya dihindari. Anggapan bahwa semua agama sama saja, sebenarnya justru menghilangkan pluralitas (dan memang bertentangan baik dengan agama Islam maupun Kristiani). Anggapan itu sebaiknya disebut “relativisme agama” karena merelatifkan kebenaran agama (sama dengan mengatakan bahwa semua agama hanya benar bagi para penganutnya, sedangkan “secara objektif” tak ada yang lebih benar dari yang lain).
Sedangkan mengenai hal siapa yang bisa masuk surga adalah urusan ajaran masing-masing agama. Hal ini dibedakan menjadi “eksklusivisme keselamatan” yakni anggapan bahwa hanya penganut agamanya sendiri yang bisa masuk surga, dan “inklusivisme keselamatan” yakni anggapan bahwa semua manusia bisa masuk surga kalau berada di luar agama yang diyakini sebagai benar (misalnya ajaran resmi Gereja Katolik). Mengenai inklusivisme dan ekslusivisme keselamatan hanya agama yang bersangkutan berhak bicara.
Dalam arti sosial atau arti yang biasa dipakai, pluralisme berarti pengakuan dan penerimaan terhadap fakta bahwa ada banyak agama dalam masyarakat kita.
Kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris, pluralism. Kata ini diduga berasal dari bahasa Latin, plures, yang berarti beberapa dengan implikasi perbedaan. Dari asal-usul kata ini diketahui bahwa pluralisme agama tidak menghendaki keseragaman bentuk agama. Sebab, ketika keseragaman sudah terjadi, maka tidak ada lagi pluralitas agama (religious plurality). Keseragaman itu sesuatu yang mustahil. Allah menjelaskan bahwa sekiranya Tuhanmu berkehendak niscaya kalian akan dijadikan dalam satu umat. Pluralisme agama tidak identik dengan model beragama secara eklektik, yaitu mengambil bagian-bagian tertentu dalam suatu agama dan membuang sebagiannya untuk kemudian mengambil bagian yang lain dalam agama lain dan membuang bagian yang tak relevan dari agama yang lain itu.
Pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Frans Magnis-Suseno berpendapat bahwa menghormati agama orang lain tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama adalah sama. Agama-agama jelas berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan syari`at yang menyertai agama-agama menunjukkan bahwa agama tidaklah sama. Setiap agama memiliki konteks partikularitasnya sendiri sehingga tak mungkin semua agama menjadi sebangun dan sama persis. Yang dikehendaki dari gagasan pluralisme agama adalah adanya pengakuan secara aktif terhadap agama lain. Agama lain ada sebagaimana keberadaan agama yang dipeluk diri yang bersangkutan. Setiap agama punya hak hidup.
Nurcholish Madjid menegaskan, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. QS, al-Mumtahanah [60]: ayat 8.
Paparan di atas menyampaikan pada suatu pengertian sederhana bahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullâh) dan berupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dikatakan secara positif, agar umat beragama tidak memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi. Dinyatakan secara optimis, karena kemajemukan agama itu sesungguhnya sebuah potensi agar setiap umat terus berlomba menciptakan kebaikan di bumi.

Kerukunan Antar Umat Beragama
Bangsa Indonesia hidup dalam “plural society”, masyarakat serba ganda, ganda kepercayaan, kebudayaannya, aspirasi politiknya, agamanya, dan sebagainya. Masyarakat Indonesia beragama dituntut supaya rukun dalam kehidupan agama. Rukun dalam kehidupan agama dapat tercipta apabila tiap-tiap orang saling tenggang-menenggang rasa dan lapang dada (toleransi).
Ada beberapa pemikiran yang diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan agama, yaitu;
Pertama, pendapat bahwa semua agama adalah sama. Ini dinamakan sinkretisme. Dalam kitab Bagayat Gita terdapat ungkapan: “barangsiapa datang kepadaku, dengan cara bagaimana, dan melalui jalan mana pun juga, aku dapat menemui dia. Mereka semuanya berjalan tersaruk-sarukdengan sesah payah menempuh berupa-rupa jalan, yang semua berujung kepada Aku”. Max Muller (1823-1900), seorang sarjana bahasa dan sejarah dalam bukunya Vorlesungen uber Religionswissenschaft, mengemukakan pendapat tentang persamaan hakiki daripada agama-agama. Menurut dia, tiap-tiap agama adalah benar, bahkan juga agama-agama suku.
Kedua, dengan jalan reconception, artinya menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Tokohnya ialah W.E. Hocking; dan pemikirannya diuraikan dalam bukunya The Coming World Civilization. Ia berpendapat bahwa segala agama adalah sama saja. Yang menjadi soal pokok dalam pikiran Hocking ialah bagaimana sebenarnya perhubungan antara agama-agama yang terdapat di dunia ini, dan bagaimana dapat dipenuhio rasa kebutuhan akan adanya satu agama dunia. ia menyatakan , bahwa agama adalah satu keinginan akan suatu cara hidup yang benar dan keinginan untuk meratakan cara hidup sedemikian, serta keinginan itu adalah desakan atau tuntutan alam semesta. Jadi agama tidak sama dengan moral. Agama bersumber pada kosmos dan dunia metafisis. Keinginan yang timbul dari metafisik itu menurut dia, inti segala agama.
Ketiga, denagn jalan sintesis, ialah menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambil dari berbagai agama, supaya dengan demikian, tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintetis (campuran) itu. Dengan jalan ini, orang menduga bahwa kehidupan agama akan rukun.
Keempat, dengan jalan penggantian, ialah mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama yang lain adalah salah: dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama itu masuk dalam agamanya. Ia tidak rela, bahwa orang lain itu mempunyai agama dan kepercayaan yang berlainan dengan agamanya. Agama-agama yang hidup itu harus diganti dengan agamanya yang ia peluk, dan dengan itu ia menduga bahwa kerukunan hidup beragama baru dapat tercipta.
Kelima, dengan jalan agree in disagreement (setuju dalam perbedaan). Ia percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Dan yakin bahwa di antara agama satu dengan lainnya, selain terdapat perbedaan juga terdapat persamaan. Dan berdasarkan pengertian itulah, saling harga menghargai ditimbulkan antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain.
Agar kerukunan hidup antarumat beragama menjadi etika dalam pergaulan kehidupan beragama, Hugh Goddard, seorang Kristiani Inggris, yang ahli teologi Islam, mengingatkan demi kerukunan antarumat beragama, harus dihindari penggunaan “standar ganda” (double standars). Orang-orang Kristen ataupun Islam, misalnya, selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya; biasanya standar yang ditunjukkan bersifat ideal dan normatif. Sedangkan terhadap agama lain, mereka memakai standar lain yang lebih bersifat realistis dan historis. Melalui standar ganda inilah, muncul prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antarumat beragama. Ada-tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan mengenai standar ganda kita. Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia, merupakan contoh dari penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya sendiri. Melalui standar ganda inilah terjadinya perang dan klaim-klaim kebenaran dari satu agama atas agama lain.
Ternyata tampak ke permukaan, berkaitan dengan terjadinya konflik antaragama, bisa sebagai akibat kesenjangan ekonomi (kesejahteraan), perbedaan kepentingan politik, ataupun perbedaan etnis. Akhirnya, konsep kebenaran dan kebaikan yang berakar dari ideologi politik atau wahyu Tuhan sering menjadi alasan pembenaran atas penindasan kemanusiaan.
Demi terciptanya hubungan eksternal agama-agama, perlu dilakukan dialog antaragama. Sedangkan untuk internal agama, diperlukan reinterpretasi pesan-pesan agama yang lebih menyentuh kemanusiaan yang universal. Dalam hal ini, peran para tokoh agama (ulama) mesti lebih dikedepankan.

Kerukunan sebagai tugas setiap agama
Kerukunan sendiri belum merupakan nilai terakhir, tetapi baru merupakan suatu sarana yang harus ada sebagai “conditio sine qua non” untuk mencapai tujuan lebih jauh yaitu situasi aman dan damai.
Diseluruh dunia kini telah tumbuh suatu kesadaran yang semakin mendalam bahwa manusia-manusia dari tradisi keagamaan yang berbeda harys bertemu dalam kerukunan dan persaudaraan daripada dalam permusuhan. Cita-cita di atas pada intinya memang merupakan ajaran fundamental dari setiap agama. Kiranya hal itu bukanlah sekedar cita-cita tetapi tugas kewajiban yang harus dilaksanakan dan diwujudkan dalam kenyataan oleh setiap agama. Adanya tugas yang suci itu ditemukan dalam setiap agama dan dirumuskan dalam kalimat yang berbeda baik kata-kata maupun nuansanya, namun sama hakekatnya.
Tetapi patut disayangkan bahwa cita-cita keselamatan dan kedamaian itu tidak selalu menjadi kenyataan yang merata dimana-mana. Sebagai gantinya terjadilah sebalikya, yaitu permusuhan dan bentrokan antar umat beragama. Inilah yang sering menjadi ironi dari agama, atau bahkan lebih buruk lagi yaitu tragedi agama.
Sekarang ini kita hidup dalam suatu zaman dimana kerukunan tidak dapat dielakkan. Pertama, kita tidak hidup dalam masyarakat tertutup yang dihuni satu golongan pemeluk satu agama yang sama, tetapi dalam masyarakat modern, dimana komunikasi dan hidup bersama dengan golongan beragama lain tidak dapat ditolak demi kelestarian dan kemajuan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, kita hidup dalam masyarakat plural baik kepercayaan maupun kebudayaannya.

Kesimpulan
Jika kaidah-kaidah pluralitas agama seperti di atas, satu saja dilanggar oleh salah satu pemeluk agama, dan pelanggaran itu mengganggu kehormatan (pemeluk) agama lain, tentu akan terjadi disharmonisasi kehidupan bersama, bahkan sampai bentuk yang terberat sekalipun, konflik atau perang.
Pemaksaan kepada pemeluk agama Islam untuk berpindah ke agama Kristen lewat proyek Kristenisasi akan menimbulkan tindakan pelanggaran lain terhadap kaidah pluralitas agama, misalnya pembakaran gereja yang dianggap menjadi pusat (perencanaan) Kristenisasi. Kasus pembakaran kompleks Dolulos mungkin bisa dijelaskan dengan hukum aksi-reaksi ini. Pembakaran gereja di Mataram dan Yogyalarta, dalam konteks ini pun, tidak akan terjadi jika tidak ada upaya sistematis pemusnahan umat Islam di Maluku (Utara).
Demikianlah seterusnya yang terjadi jika terjadi pelanggaran terhadap kaidah pluralitas agama. Setiap ada pelanggaran akan memunculkan pelanggaran baru dan akan sulit terciptanya kerukunan antarumat beragama.
Akuilah, bahwa disamping perbedaan yang terdapat diantara satu agama dengan agama yang lain, masih banyak persamaan-persamaannya. Dan berdasarkan pengertian itulah saling hormat menghormati dan harga menghargai ditumbuhkan. Dan dengan dasar inilah, maka kerukunan dalam kehidupan beragama dapat diciptakan. Hormatilah manusia itu dengan segala totalitasnya, termasuk agamanya.